Muqaddimah Tafsir
Muqaddimah Tafsir adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Muqaddimah Tafsir. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Nasrullah, M.A. pada Kamis, 2 Sya’ban 1446 H / 1 Februari 2025 M.
Kajian Islam Tentang Muqaddimah Tafsir
Sebagai contoh, dalam bahasa Arab, pengikat kepala pada surban disebut ‘iqal. Hal ini menunjukkan bahwa akal berfungsi sebagai pengikat yang menjaga seseorang dari perbuatan yang tidak pantas. Dalam sebuah hadis, dikisahkan bahwa seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan untanya yang belum diikat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepadanya, “Mengapa engkau belum mengikat untamu?” Orang itu menjawab, “Aku bertawakal kepada Allah.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
“Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakal !” (HR. At-Tirmidzi)
Hadis ini mengajarkan bahwa tawakal yang benar harus disertai dengan usaha. Akal manusia berperan dalam mengikat seseorang dari perilaku yang tidak semestinya dilakukan, baik itu perilaku yang membahayakan maupun yang tidak pantas secara moral dan sosial.
Selain itu, akal menjadi pembeda utama antara manusia dan binatang. Binatang tidak memiliki akal, sehingga tidak mendapat perintah maupun larangan sebagaimana manusia. Oleh karena itu, manusia memiliki derajat yang lebih tinggi daripada binatang. Tidak ada manusia yang ingin disamakan dengan binatang. Namun, ketika seseorang marah, terkadang emosinya menutupi akalnya sehingga ia melontarkan kata-kata yang tidak pantas, seperti menyamakan orang lain dengan binatang. Bahkan dalam candaan, ada kebiasaan buruk yang harus dihindari, seperti memanggil teman dengan julukan binatang—misalnya, “Fulan, kamu seperti badak,” atau “Dia mirip ikan gurami.” Jika dibiarkan, akhirnya suasana di kelas atau komunitas bisa seperti kebun binatang. Hal semacam ini sebaiknya dihindari karena manusia memiliki kehormatan dan derajat yang lebih tinggi daripada binatang.
Secara realitas, kita menganggap wajar jika melihat kambing atau ayam tidak memakai pakaian karena memang binatang tidak memiliki akal. Justru, jika ada kambing yang diberi pakaian, kita akan bertanya-tanya, “Kenapa kambing ini dipakaikan baju? Apakah kedinginan atau masuk angin?” Sebaliknya, jika ada manusia yang ingin hidup sebebas-bebasnya tanpa pakaian dengan alasan kebebasan, maka hal itu menjadi tidak wajar. Manusia memiliki akal, sehingga ada norma yang harus dijaga.
Jika kita melihat seseorang berjalan-jalan tanpa pakaian di tempat umum, tentu kita akan berpikir, “Orang ini waras atau tidak?” Seperti kata pepatah Jawa, “Waras atau ketan?” yang berarti seseorang dalam kondisi sadar atau tidak.
Jika seorang manusia telah diberi akal oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak menggunakannya dengan semestinya, atau bahkan cara berpikirnya terbalik—yang seharusnya berpakaian semakin rapi, indah, dan anggun, justru menganggap semakin terbuka itu semakin keren, modern, dan maju—maka seolah-olah ia sedang menurunkan derajatnya sendiri. Itu hanyalah salah satu contoh sederhana.
Salah satu sikap atau perilaku manusia yang paling fatal adalah ketika seseorang berusaha menghilangkan fungsi akalnya, menutup akalnya dari berpikir secara benar. Contohnya adalah orang yang mabuk. Jika seseorang sudah dalam keadaan mabuk, ia tidak bisa berpikir dengan jernih dan akalnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Orang-orang di sekitarnya mungkin akan merasa khawatir, takut, atau bahkan jijik melihatnya, karena orang yang mabuk tidak bisa menjaga perilakunya.
Di antara kisah yang disebutkan oleh Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad Hafizhahullah dalam majelisnya—yang dinukil dari Syekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqiti Rahimahullah—ada seorang yang mabuk, kemudian ia buang air dan menampung air kencingnya sendiri. Setelah itu, ia mencuci wajahnya dengan air tersebut sambil berkata, “Alhamdulillahilladzi anzala minal maa” (Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan air dari langit). Padahal, maksud dari kalimat tersebut adalah air hujan yang suci. Begitulah kondisi orang yang mabuk—tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Karena itu, khamr diharamkan dalam Islam, sebagaimana disebut sebagai “Ummul Khabaits” (induk dari segala keburukan). Lalu, apakah ada kondisi mabuk yang diperbolehkan? Ada, misalnya mabuk perjalanan. Mabuk seperti ini tidak disengaja, sehingga tidak termasuk dalam kategori yang diharamkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membebani manusia dengan perintah dan larangan, dan kelak di hari kiamat, manusia akan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan segala aktivitasnya di dunia. Allah menciptakan manusia dengan tujuan yang mulia, yaitu untuk mengesakan-Nya. Namun, Allah tidak membiarkan manusia bingung dalam memahami bagaimana cara mengesakan-Nya. Oleh karena itu, Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, mengutus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai teladan, dan melengkapi penciptaan manusia dengan akal, agar manusia dapat memahami jalan yang benar dan menjalani kehidupan sesuai dengan tujuannya. Dengan demikian, kelak di akhirat, mereka akan memperoleh kemuliaan di sisi Allah dan masuk ke dalam surga-Nya.
Namun, jika manusia tidak menggunakan akalnya sebagaimana mestinya—tidak digunakan untuk berpikir tentang bagaimana menjalani kehidupan sesuai dengan tujuan penciptaannya—maka mereka akan benar-benar menyesal. Kapan? Ketika Allah membangkitkan manusia di hari kiamat, menyelesaikan semua urusan, termasuk qisas (pembalasan keadilan) antara binatang-binatang, lalu menjadikan mereka seperti debu yang berterbangan. Pada saat itu, orang-orang kafir akan sangat menyesal.
Muqaddimah Tafsir
Ketika ingin mempelajari makna-makna Al-Qur’an, diperlukan pemahaman terhadap ilmu tafsir. Membaca terjemahan Al-Qur’an memang bisa membantu, tetapi terkadang ada lafaz-lafaz yang tidak cukup hanya sekadar diterjemahkan. Sebab, setiap bahasa memiliki uslub atau gaya bahasa tersendiri, serta istilah-istilah khusus yang tidak bisa diterjemahkan secara harfiah.
Misalnya, dalam bahasa Indonesia, terdapat istilah tertentu yang jika diterjemahkan secara langsung ke bahasa lain akan terdengar aneh atau bahkan tidak bisa dipahami. Contohnya adalah istilah “polisi tidur.” Jika seseorang ingin menjelaskan kepada orang Arab dengan menerjemahkannya secara harfiah, maka akan muncul kebingungan. Misalnya, seseorang mengatakan, “Saya tadi di jalan melihat polisi tidur di tengah jalan.” Orang Arab mungkin akan mengira ada seorang polisi yang benar-benar tidur di jalan. Jika ditambah dengan kalimat, “Saya lindas dengan kendaraan,” tentu mereka akan semakin bingung. Padahal, “polisi tidur” adalah istilah tertentu (untuk gundukan di jalan yang berfungsi sebagai alat pembatas kecepatan).
Begitu juga dalam bahasa Arab. Ada banyak uslub atau struktur bahasa yang tidak bisa diterjemahkan secara harfiah karena akan terdengar janggal atau sulit dipahami. Dalam bahasa Indonesia, struktur kalimat Subjek-Predikat-Objek, subjek harus di depan. Namun, dalam bahasa Arab, susunan kalimat dapat dibolak-balik tergantung pada konteks dan harakatnya, seperti marfu’, mansub, dan lain sebagainya.
Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54936-muqaddimah-tafsir/